Wednesday 4 March 2009

Candidiasis

PENDAHULUAN
Infeksi Candida pertama kali didapatkan di dalam mulut sebagai thrush yang dilaporkan oleh FRANCOIS VALLEIX (1836). LANGERBACH (1839) menemukan jamur penyebab thrush, kemudian BERHOUT (1923) memberi nama organisme tersebut sebagai Kandida. Jamur ini dapat menginfeksi semua organ tubuh manusia, dapat ditemukan pada semua golongan umur, baik pria maupun wanita. Jamur ini dikenal sebagai organisme komensial di saluran pencernaan dan mukokutan, sering ditemukan di kotoran di bawah kuku orang normal. Jamur ini juga dikenal dengan jamur oportunis.(1)

DEFINISI
Candidiasis (candidosis, moniliasis, thrush) sendiri adalah infeksi oleh jamur genus Candida, terutama C.albicans. biasanya ini merupakan infeksi superficial kulit atau selaput lendir, walaupun kadang-kadang bermanifestasi sebagai infeksi sistemik, endokarditis, atau meningitis; beberapa bentuk dapat lebih parah pada pasien dengan tanggap imun yang lemah dan dapat mengenai mulut, vagina, kulit, kuku, bronki, atau paru.(2) (3) (4)

EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia menyerang semua umur, baik laki-laki maupun perempuan. Jamur penyebabnya terdapat pada orang sehat sebagai saprofit. Gambaran klinisnya bermacam-macam sehingga tidak diketahui data-data penyebarannya dengan tepat. “Berdasarkan penelitian dari Pusat Penelitian Penyakit Menular, Departemen Kesehatan RI menemukan, dari 168 pasien fluor albus yang dating berobat ke Puskesmas Cempaka Putih Barat I, Jakarta tahun 1988/1989 adalah candidiasis sebesar 52,8%. Penelitian itu juga melaporkan bahwa dari 18 ibu hamil dan 25 ibu tidak hamil dan tidak ber-KB yang mengalami fluor albus, sebagian besarnya terinfeksi candidiasis yaitu 66,7% dan 48%.”(5)
ETIOLOGI
Yang sering menjadi penyebab adalah Candida albicans yang dapat diisolasi dari kulit, mulut, selaput mukosa vagina, dan feses orang normal. Sebagai penyebab endokarditis kandidosis ialah C. parapsilosis dan penyebab kandidosis septicemia adalah C.tropicalis.(2) (3)

KLASIFIKASI
Berdasarkan tempat yang terkena, CONANT dkk. (1971), membagi kandidosis menjadi 3 yaitu, kandidosis selaput lendir yang terdiri dari kandidosis oral (thrus), perleche, vulvovaginitis, balanitis atau balanopostitis, kandidosis mukokutan kronik, dan kandidosis bronkopulmonar dan paru; kandidosis kutis yang terdiri dari lokalisata yaitu pada daerah perienal dan daerah itertriginosa, generalisata, paronikia dan onikomikosis,dan kandidosis kulit granulomatosa; dan kandidosis sistemik yang terdiri dari endokarditis, meningitis, pielonefritis, dan septikemia.(2) (3)

PATOGENESIS
Infeksi kandida dapat terjadi bila ada faktor yang menyuburkan pertumbuhan candidiasis atau ada yang memudahkan terjadinya invasi jaringan, karena daya tahan yang lemah. Faktor-faktor ini ada yang endogen maupun eksogen. Faktor endogen terdiri dari perubahan fisiologik yang meliputi, kehamilan atau yang menyerupai kehamilan (karena perubahan pH dalam vagina), kegemukan (karena banyak keringat), debilitas, latrogenik, endokrinopati (gangguan gula darah kulit), penyakit kronik, seperti tuberculosis, lupus eritematosus dengan keadaan umum yang buruk; umur (orang tua bayi lebih mudah terkena infeksi karena status imunologiknya tidak sempurna); imulogik (penyakit genetik). Faktor eksogen yang terdiri dari iklim, panas, dan kelembaban perspirasi meningkat; kebersihan kulit; kebiasaan berendam kaki dalam air yang terlalu lama menimbulkan maserasi dan memudahkan masuknya jamur; kontak dengan penderita, misalnya pada thrush, balanopostitis.(2)

GEJALA KLINIS(2) (3)
Gejala klinis kandidosis tergantung pada lokasi yang terkena, seperti tersebut di bawah ini :
1. Kandidosis selaput lender
a. Thrush
Biasanya mengenai bayi melalui kontak dengan vagina ibunya, tampak pseudomembran putih coklat muda kelabu yang menutup lidah, palatum mole, pipi bagian dalam, dan permukaan rongga mulut yang lain. Lesi dapat terpisah-pisah, dan tampak seperti kepala susu pada rongga mulut. Bila pseudomembran terlepas dari dasarnya tampak daerah yang basah dan merah.
Pada glositis kroniklidah tampak halus dengan papilla yang atrofik atau lesi berwarna putih di tepi atau di bawah permukaan lidah. Bercak putih ini tidak tampak jelas bila pasien sering merokok.
Pada orang dewasa biasanya mengenai mukosa pip dan lidah. Tampak atrofi papil lidah, permukaan lidah menjadi licin dan berwarna merah cerah.
b. Perleche (keilitis angular)
Lesi berupa fisur pada sudut mulut, lesi ini mengalami maserasi, erosi, basah, dan dasarnya eritematosa. Biasanya bilateral. Kemungkinan ada anemia defisiensi besi. Biasanya terjadi pada anak-anak yang menghisap jempol.
c. Vulvovaginitis
Biasanya sering terdapat pada pasien diabetes mellitus karena kadar gula darah dan urin yang tinggi dan pada wanita hamil karena penimbunan glikogen dalam epitel vagina. Gejala berupa pruritus hebat, rasa terbakar, labia eritema dan maserasi. Serviks hiperemis, edema dan erosive serta terdapat vesikel-vesikel yang kecil pada permukaan. Duh vagina biasanya kental.


d. Balanitis atau balanopostitis
Pasien mendapat infeksi karena kontak seksual dengan wanitanyayang menderita vulvovaginitis, lesi berupa erosi, pustule dengan dindingnya yang tipis, terdapat pada glans penis dan sulkus koronarius glandis.
e. Kandidosis mukokutan kronik
Penyakit ini timbul karena ada kekurangan fungsi leukosit atau system hormonal, biasanya terdapat pada pasien dengan bermacam-macam defisiensi yang bersifat genetic, umumnya terdapat pada anak-anak. Gambaran klinisnya mirip pasien dengan defek poliendrokin.
2. Kandidosis kutis
a. Kandidosis intertriginosa
Lesi di daerah lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal, lipat payudara, antara jari tangan atau kaki, glans penis, dan umbilicus, berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah, dan eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah yang erosive, dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi primer.
b. Kandidosis perianal
Lesi berupa maserasi seperti infeksi dermatofit tipe basah. Penyakit ini menimbulkan pruritus ani. Terdapat dermatitis perianal berupa eritema dan maserasi yang sangat gatal dan terbakar.
c. Kandidosis kutis generalisata
Lesi terdapat pada glabrous skin, biasanya juga di lipat payudara, intergluteal, dan umbilicus. Sering disertai glositis, stomatitis, dan paronikia.
d. Paronikia dan onikomikosis
Sering diderita oleh orang-orang yang pekerjaannya berhubungan dengan air. Lesi berupa kemerahan, pembengkakan yang tidak bernanah, kuku menjadi tebal, mengeras dan berlekuk-lekuk, kadang-kadang berwarna kecoklatan, tidak rapuh, tetap berkilat dan tidak terdapat sisa jaringan di bawah kuku seperti pada tinea unguium.
Merupakan inflamasi kronik pada lipatan kuku yang menghasilkan pus, erosi pada pinggir lateral kuku, penebalan dan warna kecoklatan pada lempeng kuku.
e. Diaper-rash
Kelainan pada kulit daerah bokong yang sering terdapat pada bayi yang popoknya selalu basah dan jarang diganti dan juga sering diderita neonatus sebagai gejala sisa dermatitis oral dan perianal. Gejalanya terdapat macula dan vesikel-vesikel dengan maserasi pada daerah yang tertutup popok menyebabkan rasa gatal seperti terbakar dan tidak nyaman. Diagnosis ditegakkan dengan adanya lesi satelit yang eritematosa.
f. Kandidosis granulomatosa
Penyakit ini sering menyerang anak-anak, lesi berupa papul kemerahan tertutup krusta tebal berwarna kuning kecoklatan dan melekat erat pada dasarnya. Krusta ini dapat menimbul seperti tanduk sepanjang 2 cm, lokasisasinya sering terdapat di muka, kepala, kuku, badan, tungkai, dan faring.
3. Reaksi id (kandidid)
Reaksi terjadi karena adanya metabolit kandida, klinisnya berupa vesikel-vesikel yang bergerombol, terdapat pada sela jari tangan atau bagian badan yang lain, mirip dermatofitid.

PEMERIKSAAN PENUNJANG(2) (3) (4) (6)
1. Pemeriksaan langsung
Kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa dengan larutan KOH 10% atau dengan pewarnaan Gram, terlihat gambaran Gram positif, sel ragi, blastospora, atau hifa semu.
2. Pemeriksaan biakan
Bahan yang akan diperiksa ditanam dalam agar dekstrosa glukosa Sabouroud, dapat pula agar ini dibubuhi antibiotic (kloramfenikol) untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Perbenihan disimpan dalam suhu kamar atau lemari suhu 37oC, koloni tumbuh setelah 24-48 jam berupa yeast like colony.

DIAGNOSIS BANDING(2) (3)
1. Kandidosis kutis lokalisata dengan :
a. Eritrasma : lesi di lipatan, lesi lebih merah, batas tegas, kering tidak ada satelit, pemeriksaan dengan lampu Wood positif.
b. Dermatitis intertriginosa
c. Dermatofitosis (tinea)
2. Kandidosis kuku dengan tinea unguium
3. Kandidosis vulvovaginitis dengan :
a. Trikomonas vaginalis
b. Gonore akut
c. Leukoplakia
d. Liken planus

PENATALAKSANAAN(2) (3) (4)
1. Menghindari atau menghilangkan factor predisposisi
2. Topikal :
a. Larutan ungu gentian 1/2 – 1% untuk selaput lender, 1 – 2% untuk kulit, dioleskan sehari 2 kali selama 3 hari
b. Nistatin : berupa krim, salep, emulsi
c. Amfoterisin B
d. Grup azol antara lain :
Mikonazol 2% berupa krim atau bedak
Klotrimazol 1% berupa bedak, larutan dan krim
Tiokonazol, bufonazol, isikonazol
Siklopiroksolamin 1% larutan, krim
Antimikotik lain yang berspektrum luas
3. Sistemik :
a. Tablet nistatin untuk menghilangkan infeksi fokal dalam saluran cerna, obat ini tidak diserap oleh usus
b. Ketokonazol, bila dipakai untuk kandidosis vagina dosisnya 2 x 200mg selama 5 hari (untuk orang dewasa)
c. Itrakonazol : bila dipakai untuk kandidosis vulvovaginitis dosis tunggal 300mg (untuk orang dewasa)

PROGNOSIS(2)
“Umumnya baik, bergantung berat ringannya factor predisposisi.”
Read More..
Silahkan Komentar atau minta tulisan baru kalau butuh atau kirim email ke randentist@gmail.com Read More..

Enterobius vermicularis

Pengertian Enterobiasis
Enterobiasis atau oxyuriasis adalah penyakit akibat infeksi cacing E. vermicularis atau Oxyuris vermicularis. Disebut pula sebagai pinworm infection, atau di Indonesia dikenal sebagai infeksi cacing kremi (Noer, 1996). Penyakit ini identik dengan anak-anak, meski tak jarang orang dewasa juga terinfeksi.

Enterobius vermicularis
A.Taksonomi
Phylum : Nematoda
Class : Cecernentea
Subclass : Rhabditia
Order : Rhabditida
Suborder : Rhabditina
Superfamily : Oxyuroidea
Family : Oxyuridae
Genus : Oxyuris atau Enterobius
Spesies : O. vermicularis atau E. vermicularis
(Gandahusada et al., 2001)

B. Morfologi
a. Cacing Dewasa
Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,3-0,5 mm, dengan pelebaran kutikulum seperti sayap pada ujung anterior yang disebut alae. Bulbus oesofagus jelas sekali, dan ekor runcing. Pada cacing betina gravid, uterus melebar dan penuh telur (Gandahusada et al., 2001).


Gambar: E. vermicularis Betina


Cancing jantan lebih kecil sekitar 2-5 mm dan juga bersayap, tapi ekornya berbentuk seperti tanda tanya, spikulum jarang ditemukan (Purnomo et al.,2003).


Gambar: E. Vermicularis Jantan

b. Telur E. vermicularis
Telur E. vermicularis oval, tetapi asimetris (membulat pada satu sisi dan mendatar pada sisi yang lain), dinding telur terdiri atas hialin, tidak berwarna dan transparan, serta rerata panjangnya x diameternya 47,83 x 29,64 mm (Brown, 1979). Telur cacing ini berukuran 50μm - 60μm x 30μm, berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu sisinya (asimetris). Dinding telur bening dan agak tebal, didalamnya berisi massa bergranula berbentuk oval yang teratur, kecil, atau berisi embrio cacing, suatu larva kecil yang melingkar (Gandahusada et al., 2001).








Gambar: Telur E.vermicularis

C. Siklus Hidup
Manusia merupakan satu-satunya host bagi E. vermicularis. Manusia terinfeksi bila menelan telur infektif. Telur akan menetas di dalam usus dan berkembang menjadi dewasa dalam caecum, termasuk appendix (Mandell et al., 1990).











Gambar: Potongan melintang E. vermicularis dewasa di usus halus
Sumber : www.bchealthguide.org (2003)

Cacing betina memerlukan waktu sekitar 1 bulan untuk menjadi matur dan mulai memproduksi telur (Garcia dan Bruckner, 1998). Cacing betina yang gravid mengandung sekitar 11.000-15.000 butir telur, berimigrasi ke perianal pada malam hari untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus dan vaginanya. Telur-telur jarang dikeluarkan di usus sehingga jarang ditemukan di tinja. Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira 6 jam setelah dikeluarkan pada suhu badan. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari (Gandahusada et al., 2001). Kadang-kadang cacing betina berimigrasi ke vagina dan menyebabkan vaginitis (Mandell et al., 1990).



Gambar: Cacing betina yang bermigrasi ke perianal untuk meletakkan
telurnya
Sumber : www. whisperingpinesmedicalclinic.com (2003)
Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi di caecum. Cacing jantan mati setelah kopulasi, dan cacing betina mati setelah bertelur. Daur hidup cacing mulai dari tertelannya telur infektif sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke perianal dan memerlukan waktu kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan (Gandahusada et al., 2001).




Gambar: Siklus hidup E. vermicularis


D. Epidemiologi
Prevalensi cacing di Indonesia, menurut Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasit Indonesa (P4I), tahun 1992 untuk cacing gelang 70 – 90%, cacing cambuk 80 – 95% dan cacing tambang 30 – 59%. Sedangkan dari data departemen kesehatan (1997) menyebutkan, prevalensi anak usia SD 60 – 80% dan dewasa 40 – 60% (Kompas, 2002).
Cacing ini sebagian besar menginfeksi anak-anak, meski tak sedikit orang dewasa terinfeksi cacing tersebut. Meskipun penyakit ini banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah, pasien rumah sakit jiwa, anak panti asuhan, tak jarang mereka dari golongan ekonomi yang lebih mapan juga terinfeksi (Brown, 1979).
Infeksi cacing terdapat luas di seluruh Indonesia yang beriklim tropis, terutama di pedesaan, daerah kumuh, dan daerah yang padat penduduknya. Semua umur dapat terinfeksi cacing ini dan prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak. Penyakit ini sangat erat hubungannya dengan keadaan sosial-ekonomi, kebersihan diri dan lingkungan. Prevalensi menurut jenis kelamin sangat erat hubungannya dengan pekerjaan dan kebiasaan penderita. Distrik Mae Suk, Provinsi Chiangmai Thailand ditemukan anak laki-laki lebih banyak yaitu sebesar 48,8% dibandingkan dengan anak perempuan yang hanya 36,9% pada umur 4,58 ± 2,62 tahun (Chaisalee et al., 2004). Sedangkan di Yogyakarta infeksi cacing lebih banyak ditemui pada penderita laki-laki dibandingkan penderita perempuan. Tingkat infeksi kecacingan juga dipengaruhi oleh jenis aktivitas atau pekerjaan. Semakin besar aktivitas yang berhubungan atau kontak langsung dengan lingkungan terbuka maka semakin besar kemungkinan untuk terinfeksi. Selain itu, prevalensi kecacingan yang berhubungan dengan status ekonomi dan kebersihan lingkungan diteliti di Cirebon, Jabar. Ternyata prevalensi kecacingan semakin tinggi pada kelompok sosial ekonomi kurang dan kebersihan lingkungan buruk, dibandingkan kelompok sosial ekonomi dan kebersihan lingkungan yang sedang dan baik (Tjitra, 1991).

E. Penularan Penyakit
Enterobiasis menular setidaknya melalui 3 cara, yaitu:
penularan dari tangan ke mulut setelah menggaruk perianal (autoinfeksi), atau tangan menyebarkan telur ke orang lain maupun diri sendiri setelah memegang benda-benda dan pakaian yang terkontaminasi,
debu merupakan sumber infeksi. Infeksi melalui inhalasi yang mengandung telur,
retroinfeksi melalui anus. Larva yang menetas disekitar anus kembali masuk ke usus. (Anonim, 2004).
Binatang piaraan seperti anjing dan kucing bukan host bagi E. vermicularis, tapi bulunya dapat mengandung cacing kremi. Sehingga para pecinta binatang yang tidak cuci tangan mudah untuk terinfeksi. Telur cacing yang tertelan dapat tumbuh menjadi cacing dewasa dalam usus manusia dan berkembang biak dengan mengeluarkan banyak telur; seekor cacing betina bertelur sampai puluhan ribu per hari (Miller, 1998). Telur ini dapat dikeluarkan bersama – sama tinja penderita. Tinja yang mengandung sel telur ini menjadi sumber penularan penyakit cacingan. Infeksi pada anak – anak usia sekolah dapat mengganggu kemampuan belajar, dan pada orang dewasa mengganggu produktivitasnya (Nadesul, 2000).
Intensitas penularan penyakit tinggi pada anak-anak yang belum mengenal higiene pribadi yang baik. Tempat-tempat kumuh, rumah dihuni banyak orang, rumah sakit, panti asuhan merupakan tempat yang efektif bagi penularan Enterobiasis. Hygine yang buruk, seperti jarangnya penggantian seprei, tidur secara berkelompok, dan tukar menukar baju, serta frekuensi penggantian celana dalam dan baju yang jarang juga mempercepat penularan penyakit ini (Brown, 1979).

F. Patologi dan Gejala Klinis
Enterobiasis sering tidak menimbulkan gejala (asimptomatis). Gejala klinis yang menonjol berupa pruritus ani, disebabkan oleh iritasi disekitar anus akibat migrasi cacing betina ke perianal untuk meletakkan telur-telurnya. Gatal-gatal di daerah anus terjadi saat malam hari, karena migrasi cacing betina terjadi di waktu malam (Noer, 1996)
Cacing betina gravid, sering mengembara dan bersarang di vagina serta tuba fallopi. Sementara sampai di tuba fallopi menyebabkan salphyngitis. Kondisi ini sangat berbahaya, terutama pada wanita usia subur, sebab dapat menyebabkan kemandulan, akibat buntunya saluran tuba. Cacing juga sering ditemukan di appendix. Hal ini bisa menyebabkan apendisitis, meskipun jarang ditemukan (Wolfrarm, 2003)

G. Diagnosis
Diagnosis dilakukan berdasarkan riwayat pasien dengan gejala klinis positif. Diagnosis pasti dengan ditemukannya telur dan cacing dewasa. Selain itu, diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan tinja dan anal swab dengan metode Scotch adhesive tape swab (Faust et al., 1979).
Pada pemeriksaan tinja dapat ditemukan adanya cacing dewasa. Cacing jantan dewasa setelah kopulasi mati dan keluar bersama tinja. Sementara dengan metode Scotch adhesive tape swab, dapat menemukan telur yang diletakkan didaerah perianal (Faust et al., 1979). Metode yang kedua lebih mudah dilakukan, dan lebih sering dilakukan. Selain biaya yang relatif murah, juga kerja yang cepat. Cara kerja metode tersebut hanya menempelkan sisi lekat celophan tape ke daerah perianal, kemudian dengan menggunakan xylol atau toluol untuk menjernihkan, dapat ditemukan adanya telur cacing kremi. Metode ini juga sangat efektif. Sekali melakukan pemeriksaan dengan swab dapat menemukan 50% dari semua infeksi, tiga kali pemeriksaan 90%, dan pemeriksaan 7 hari berturut-turut diperlukan untuk menyatakan seseorang bebas infeksi (Faust et al., 1979).

H. Terapi dan Pencegahan
Pengobatan enterobiasis efektif jika semua penghuni rumah juga diobati, infeksi ini dapat menyerang semua orang yang berhubungan dengan penderita. Obat-obatan yang digunakan antara lain piperazin, pirvinium, tiabendazol dan stilbazium iodida (Gandahusada et al., 2001).
Pengobatan enterobiasis adalah sebagai berikut :
1. Piperazin sulfat diberikan dengan dosis 2 x 1 g/hari selama 8 hari,
2. Pirvinium pamoat, diberikan dengan dosis 5 mg/kg berat badan (maksimum 0,25 g) dan diulangi 2 minggu kemudian,
3. Piranthel pamoat, diberikan dengan dosis 11mg/kg berat badan single dose, dan maksimum 1 gram,
4. Stilbazium Iodida, dengan dosis tunggal 10-15 mg/kg berat badan. Warna tinja akan menjadi merah karena obat ini (Noer, 1996).
Pencegahan dengan menjaga kebersihan, cuci tangan sebelum makan, ganti sprei teratur, ganti celana dalam setiap hari, membersihkan debu-debu kotoran di rumah, potong kuku secara rutin, hindari mandi cuci kakus (MCK) di sungai. Kalau perlu toilet dibersihkan dengan menggunakan desinfektan (Noer, 1996). Selain itu, peningkatan kesehatan perorangan dan kelompok digabung dengan terapi kelompok dapat membantu pencegahan (Garcia dan Bruckner, 1998).
Read More..

Gingivitis

DEFINISI
Tench Mouth (Infeksi Vincent,Gingivitis ulserativa nekrotikan akut) adalah suatu infeksi gusi yang tidak menular dan terasa nyeri, menyebabkan nyeri, demam dan kelelahan.Istilah trench mouth berasal dari Perang Dunia I dimana banyak serdadu yang tinggal di bedeng (trench) menderita infeksi.

PENYEBAB
Beberapa hal yang mendukung terjadinya penyakit ini:- Kebersihan mulut yang jelek- Stres fisik maupun stres emosional- Diet yang kurang- Kurang istirahat.Infeksi paling sering terjadi pada penderita gingivitis simpleks yang mengalami saat-saat yang menegangkan (misalnya ujian di sekolah atau ganti pekerjaan).Lebih sering terjadi pada perokok.GEJALABiasanya, trench mouth dimulai secara tiba-tiba berupa nyeri gusi, gelisah dan kelelahan.Dapat juga timbul bau mulut yang busuk.Ujung-ujung gusi yang terletak diantara dua gigi mengalami pengikisan dan tertutup oleh jaringan mati yang berupa lapisan berwarna abu-abu.Gusi mudah berdarah; mengunyah dan menelan menyebabkan nyeri.Kelenjar getah bening di bawah rahang seringkali membengkak dan timbul demam ringan.

DIAGNOSA
Pemeriksaan mulut menunjukkan adanya peradangan gusi disertai kerusakan jaringan gusi diantara gigi geligi.Mungkin ditemukan selaput berwarna abu-abu yang berasal dari jaringan gusi yang mati.Bisa terjadi pembengkakan kelenjar getah bening di kepala dan leher.Rontgen gigi atau rontgen wajah dilakukan untuk menentukan luasnya infeksi dan kerusakan jaringan.PENGOBATANPengobatan dilakukan dengan pembersihan, dimana semua jaringan gusi yang mati dan karang gigi dibuang.Karena pembersihan ini menimbulkan nyeri, maka digunakan obat bius lokal.Beberapa hari pertama setelah pembersihan, penderita diharuskan berkumur-kumur dengan larutan hidrogen peroksida (setengah bagian hidrogen peroksida 3%dicampur dengan setengah bagian air), beberapa kali dalam sehari.Selama 2 minggu, penderita mengunjungi dokteri gigi setiap 1-2 hari.Pembersihan berlanjut sampai terjadinya penyembuhan.Jika bentuk dan posisi gusi tidak kembali normal, dokter gigi akan melakukan pembedahan untuk kembali membentuk gusi sebagai pencegahan terhadap kekambuhan dan pencegahan terhadap periodontitis.Antibiotik diberikan jika trench mouth sangat berat atau tidak dapat dilakukan perawatan gigi.

PENCEGAHAN
Menjaga kebersihan mulut sangat penting dalam mencegah terjadinya trench mouth.Makanan dan keadaan kesehatan yang baik juga membantu mencegah terjadinya penyakit ini.Tindakan pencegahan lainnya adalah berhenti merokok dan mencoba mengatasi stres. Read More..

Patogenesis Penyakit Periodontal

Gusi sehat
Pada keadaan yang sehat, gingiva biasanya berwarna merah muda, tepinya setajam pisau serta berbentuk scallop; papilanya ramping sering mempunyai groove karena adanya sluice-way dan perlekatan gingivanya berstipling serta tidak berdarah pada saat penyondean. Daerah leher gingiva biasanya dangkal dan epitel jungtion melekat erat pada enamel. Sistem serabut gingiva tersusun secara teratur. Beberapa PMN terlihat pada epitelium jungtion ketika PMN ini berjalan melintas dari pembuluh darah gingiva menuju ke leher gingiva dan terus menuju ke rongga mulut. Pada jaringan ikat didekatnya dapat diisolasi sel-sel inflamasi, terutama limfosit dan kadang-kadang sel plasma serta makrofag. Gambaran ini mencerminkan keseimbangan yang stabil namun dinamis dari suatu jaringan yang sehat.
Secara Histopatologi terjadinya gingivitis sampai periodontitis sudah pernah dijabarkan oleh Page dan Schroeder (1976) dalam beberapa tahapan: lesi awal timbul 2-4 hari diikuti gingivitis tahap awal, dalam 2-3 minggu akan menjadi gingivitis yang cukup parah.
Patogenesis penyakit periodontal dibagi menjadi 4 tahap:
1. Lesi Awal
Bakteri adalah penyebab utama dari penyakit periodontal, namun pada tahap ini hanya menyerang jaringan dalam batas normal dan hanya berpenetrasi superfisial. Bakteri plak memproduksi beberapa faktor yang dapat meyerang jaringan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara merangsang reaksi imun dan inflamasi. Plak yang terakumulasi secara terus menerus khususnya diregio interdental yang terlindung mengakibat inflamasi yang cenderung dimulai pada daerah papila interdental dan meneyebar dari daerah ini kesekitar leher gigi.
Perubahan terlihat pertama kali di sekitar pembuluh darah gingiva yang kecil, disebelah apikal dari epitelium jungtion. Pembuluh ini mulai bocor dan kolagen perivaskular mulai menghilang, digantikan dengan beberapa sel inflamasi, sel plasma dan limfosit-terutama limfosit T-cairan jaringan dan protein serum. Disini terlihat peningkatan migrasi leukosit melalui epitelium fungsional dan eksudat dari cairan jaringan leher gingiva. Selain meningkatnya aliran eksudat cairan dan PMN, tidak terlihat adanya tanda-tanda klinis dario perubahan jaringan pada tahap penyakit ini.

Gingivitis Dini
Bila deposit plak masih tetap ada, perubahan inflamasi tahap awal akan berlanjut disertai dengan meningkatnya aliran cairan gingiva dan migrasi PMN. Perubahan yang terjadi baik pada epithekium jungtion maupun pada epithelium krevikular merupakan tanda dari pemisahan sel dan beberapa proleferasi dari sel basal. Fibroblas mulai berdegenerasi dan bundel kolagen dari kelompok serabut dentogingiva pecah sehingga seal dari cuff marginal gingiva menjadi lemah. Pada keadaan ini terlihat peningkatan jumlah sel-sel inflmasi, 75 % diantaranya terdiri dari limfosit. Juga terlihat beberapa sel plasa dan magrofag. Pada tahap ini tanda-tanda klinis dari inflamasi makin jelas terlihat. Papila interdental menjadi lebih merah dan bangkak serta mudah berdarah pada saat penyondean.
Gingivitis tahap lanjut
Dalam waktu2-3 minggu, akan terbentuk gingivitis yang lebih parah lagi. Perubahan mikroskopik terlihat terus berlanjut, pada tahap ini sel-sel plasa terlighat mendominasi. Limfosit masih tetap ada dan jumlah makrofag meningkat. Pada tahap ini sel mast juga ditemukan. Imunoglobulin, terutama IgG ditemukan di daerah epithelium dan jaringan Ikat. Gingiva sekarang berwarna merah, bengkak dan mudah berdarah. Dengan bertambah parahnya kerusakan kolagen dan pembengkakan inflmasi, tepi gingiva dapat dengan mudah dilepas dari permukaan gigi, memperbesar kemungkinan ternetuknya poket gingiva atau poket Palsu (’false pocket’). Bila oedem inflamasi dan pembengkakan gingiva cukup besar, maka poket gingiva biasanya juga cukup dalam. Pada tahap ini sudah terjadi degenerasi sel-sel epitelium jungtion dan beberapa berproliferasi dari lapisan basal ke jaringan ikat di bawahnya, namun pada tahapan ini belum terlihat adanya mugrasi sel-sel epithelial dalam jumlah besar ke permukaan akar.
Bila inflamasi sudah menyebar disepanjang serabut transeptal, maka akan terlihat adanya resorbsi puncak tulang alveolar. Resorbsi ini bersifat reversibel terutama dalam hubungan \nya dengan pemulihan inflamasi. Salah satu tanda penting dri penyakit ini adalah tidak ditemukannya bakteri pada epithelium maupun pada jaringan ikat. Karena jaringan fibrosa rusak pada adrah inflamsi aktif, pada beberapa daerah agak jauh terlihat adanya proliferasi jaringan fibrosa dan pembentukan pembuluih darah baru. Aktivitas pemulihan yang produktif ibni merupakan karekteristrik yang sangat penting dari lesi kronis dan pada keadaan iritasi serta inflamasi jangka panjang, elemen jaringan fibrosa akan menjadi komponen utama dari perubahan jaringan. Jadi, kerusakan dan perbaikan berlangsung bergantian dan proporsi dari tiap-tiap proses ini akan mempengaruhi warna dan bentuk gingiva. Bila inflamsi dominan, jaringan akan berwarna merah, lunak dan mudah berdarah;bila produksi jaringan fibrosa yang dominan, gingiva akan menjadi keras dan berwarna merah muda walaupun bengkak perdarahan kurng , bahkan tidak ada.


Periodontitis:
Bila iritasi plak dan inflamsi terus berlanjut, integritas dari epithelium jungtion akan semakin rusak. Sel-sel epithelial akan berdegenarasi dan terpisah, perlekatannya pada permukaan gigi akan terlepas sama sekali. Pada saat bersamaan, epithelium jungtion akan berproliferasi ke jaringan ikat dan ke bawah pada permukaan akar bila serabut dentogingiva dan serabut puncak tulang alveolar rusak. Migrasi ke apikal dari epithelium jungtion akan terus berlangsung dan epithelium ini akan terlepas dari permukaan gigi, membentuk poket periodontal atau pokel asli. Keadaan ini tampaknya merupakan perubahan Irreversibel. Bila poket periodontal sudah terbentuk plak berkontak dengan sementum. Jaringan ikat akan menjadi oedem; pembuluh darah terdilatasi dan trombosis dinding pembuluh pecah disertai dengan timbulnya perdarahan ke jaringan sekitarnya. Disini terlihat infiltrat inflamasi yang besar dari sel-sel plasam, limfosit dan magrofag. IgG merupakan imunoglobulin yang dominan tetapi beberapa IgM dan IgA juga dapat di temukan disini. Epitelium dinding poket mungkin tetap utuh atau terulserasi. Disini tidak terlihat adanya perbedaan karena produk-produk plak berdifusi melalui epitelium. Aliran cairan jaringan dan imigrasi dari PMN akan berlanjut dan agaknya aliran cairan jaringan ini ikut membantu meningkatkan deposisi kalkulus subgingiva. Penyebaran inflamasi ke puncak tulang alveolar. Ditandai dengan adanya infiltrasi sel-sel ke ruang-ruang trabekula, daerah-daerah resorbsi tulang dan bertambah besarnya ruang trabekula. Ada kecenderungan resorbsi tulang di imbangi oleh deposisi yang semakin menjauhi daerah inflamasi. Sehingga tulang akan diremodelling, namun tetap mengalami kerusakan. Resorbsi tulang dimulai dari daerah interproksimal menjadi lebar misalnya atara gigi-gigi molar, suatu krater interdental akan terbentuk dan kemudian bila proses resorbsi makin berlanjut, resorbsi akan meluas ke lateral, sehingga semua daerah puncak tulang alveolar akan teresorbsi.
Kesimpulannya, Perbedaan secara histologis yang paling penting antara gingivitis dan periodontitis adalah adanya resorbsi tulang alveolar, proliferasi epitel kearah apikal dan ulserasi junctional epithelium serta bertambahnya kehilangan perlekatan jaringan ikat. Pada fase akut kemungkinan adanya invasi bakteri kedalam jaringan yang menyebabkan terbentuknya abses. Pada periodontitis ringan kehilangan perlekatan sudah terjadi pada seperempat sampai dengan sepertiga panjang akar. Untuk mengetahui lesi periodontitis secara klinis diperlukan pemeriksaan tingkat kehilangan perlekatan. Read More..

Pembentukan Plak

Struktur dan komposisi dental plak
Dental plak dapat diklasifikasikan secara garis besar antara lain; plak supragingiva dan plak subgingiva. Plak supragingiva ditemukan pada atau diatas margin gingiva dan dimungkinkan juga kontak langsung dengan margin gingiva. Sedangkan plak subgingiva ditemukan dibawah margin gingiva, antara gigi dengan sulkus gingiva yang dialiri oleh cairan sulkus tersebut yang bersal dari sekresi sulkus tersebut.
Dental plak memilki kandungan utama mikroorganisme dan dimana 1 gram plak dapat mengandung sekitar 2 x 1011 jenis bakteri. Berdasarkan hasil estimasi lebih dari 325 jenis bakteri berbeda yang ditemukan pada plak. Dan secara potensial lebih dari 500 jenis bakteri yang diketahui berasal dari sampel rongga mulut. Mikroorganisme nonbakterial juga ditemukan pada plak seperti jenis Mikoplasma, ragi, protozoa dan virus. Mikroorganisme yang berasal dari matriks ekstraseluler juga mengandung sel-sel tubuh seperti sel epitel dan leukosit.
Diperkirakan 70-80% plak mengandung mikroba dan matriks ekstraseluler. Matriksintraseluler yang mengandung sekitar 20% massa plak, juga mengandung organic dan anorganic yang berasal dari saliva, cairan sulkus gingiva dan produk-produk bakteri. Kandungan organicnya seperti polisakarida, protein, glikoprotein dan lemak. Pada umumnya karbohidrat di produksi oleh bakteri sebagai dextran; ada juga beberapa levan dan galaktosa. Pada prinsipnya komponen anorganicnya seperti kalsium, posphor, magnesium, sodium, potasium, dan fluoride. Garam ornagic yang dikandung sangat besar terdapat pada permukaan lidah dan dibawah insisivus. Ion kalsium melakukan merupakan perantara ikatan antara baktri yang satu dengan bakteri yang lain dengan pelikel. Komponen Bahan organic dan anorganic terbesar dihasilkan oleh saliva yang juga berperan dalam meningkatkan kandungan mineral, massa plak ini dapat terkalsifikasi menjadi kalkulus.

Pembentukan Plak
Tahap Pembentukan plak Supragingiva antara lain:
Pembentukan Pelikel
Kolonisasi awal
Kolonisasi sekunder dan maturasi plak

Pembentukan pelikel
Beberapa saat setelah pembersihan gigi terbentuk lapisan tipis dari protein saliva, sebagian besar glikoprotein, disimpan pada permukaan gigi (baik itu pada restorasi dan gigi tiruan). Lapisan ini, disebut pelikel saliva acquired, yang tipis (0,5 μm), lembut, tidak berwarna dan transparan. Melekat pada permukaan gigi dan dapat dihilangkan hanya dengan gesekan ringan. Terdapat elektrostatik antara hidroxiapati dan komponen saliva seperti glikoprotein. Pada awal pembentukan pelikel masih terbebas dari bakteri.
Perbedaan kandungan yang lebih spesifik dari pelikel pada permukaan yang berbeda dan
penelitian menyatakan pelikel muda yang terdapat pada enamel (2 jam) menunjukkan adanya kandungan asam amino yang berbeda dengan asam amino yang terdapat pada saliva. Hal ini merupakan suatu indikator bahwa pembentukan pelikel bersal dari penyerapan selektif makromolekul saliva.
Pelikel saliva berfungsi sebagai pelindung. Pada awalnya, glikoprotein saliva dan calsium saliva dan ion phospat diserap pada permukaan enamel dimana proses ini merupakan kompensasi dari hilangnya gigi oleh atrisi dan erosi. Pelikel juga membatasi difusi dari produk asam dari hasil pemecahan glukosa. Pelikel ini juga mampu mengikat ion organk yang lain seperti fluoride yang dapat meningkatkan remineralisasi. Pelikel juga mengandung antibakteri antara lain Ig G, Ig A, Ig M, komplemen dan lisosim.
Dental pelikel terbentuk pada permukaan yang juga menyediakan substrat yang mendukung akumulasi bakteri pada bentukan plak. Fungsi yang tepat dari beberapa komponen individu dari saliva pada pembentukan plak tidak begitu jelas dan jumlah potensial dari hasil pengitungan antara 80 atau lebih dari komponen saliva dan 500 atau lebih jenis bakteri yang berada pada rongga mulut yang sanagt luas. Dapat dipercaya bahwa beberapa komponen dari saliva membantu pembentukan plak yaitu keterlibatan aglutinin bakteri atau oleh karena aksi dari substrat nutrisi, sementara kelompok mikroba yang lain berikatan dengan permukaan gigi.
Berbagai macam bentuk interaksi bakteri dengan saliva antara lain:
Bakteri dapat mengikat reseptor yang berada pada pelikel melalui perlekatan. Meskipun, pada komponen yang sama terbebas dari saliva juga mengikat bakteri dan menghalangi pengikatannya dengan gigi dan membersihkannya dari rongga mulut.
Komponen saliva juga berinteraksi dengan bakteri melalui berbagai macam pengikatan yang menyebabkan aglutinasi yang mampu meningkatkan kemampuannya dalam membersihkan rongga mulut. Jalan terkecil dari agregasi bakteri mungkin berikatan dengan gigi.
Beberapa komponen saliva toksik terhadap bakteri dan mampu melisiskan membran sel bakteri tersebut.
Komponen saliva juga berperan sebagai penyedia sumber nutrisi dari bakteri.

Kolonosasi awal
Sanagat cepat, hanya membutuhkan waktu beberapa menit, setelah itu pelikel langsung terdeposit oleh populasi bakteri. Bakteri dapat terdeposit secara langsung pada enamel tetapi selalu terjadi perlekatan dengan pelikel dan agregasi bakteri juga dilapisi oleh glikoprotein saliva. Pada orang primitif dimana dietnya yang alami dari makan yang keras dan berserat pada permukaan oklusal dan area kontak dari subjek cukup mengenai seluruh permukaan sehingga deposit bakteri sangat minimal. Ketika dietnya lunak gigi yang digunakan hanya terkena sedikit atau tidak sama sekali dan mendorong terjadinya deposit dari bakteri. Akumulasi terbesar pada sisi yang tersembunyi pada bagian yang tidak terkena gesekan dan pergerakan dari lidah. Pada regio interdental yang berada dibawah daerah kontak merupakan sisi yang memiliki ketebalan plak terbesar.
Pada beberapa jam pertama jenis Streptokokkus dan sedikit perlekatan dari Actinomyces pada pelikel yang merupakan awal dari kolonisasi. Selama jam pertama pada beberapa hari terjadi pertumbuhan dari populasi bakteri dan menyebar keluar dari permukaan gigi dimana dibawah pemeriksaan mikroskop elektron terlihat bentukan organisme tersebut seperti skyscrapers, pada satu lapisan yang terbaik dari permukaan gigi tersebut. Terdapat kolom pararel dari bakteri yang dipisahkan oleh ruang sempit dan proses pertumbuhan plak tersebut merupakan deposisi dari jenis baru dalam bentuk ruang. Terdapat deposit jenis baru yang melekat merupakan perintis bakteri yang menggunakan molekul spesifik dan mekanismenya. Pada awal ini, jenis bakteri yang baru dari saliva atau sekitar membran mukosa yang muncul pada bakterei secara alami dari permukaan gigi dan perlekatan oleh interaksi dengan kesiapan perlekatan bakteri plak. Hubungan ini diketahui sebagai coagregasi intergenerik dan merupakanperantara terhadap perlekatan spesifik dari protein dimana terjadi antara sel-sek tersebut.
Pembentukan plak supragingiva juga dipelopori oleh bakteri dengan kemampuannya membentuk polisakarida ekstraseluler yang diikuti dengan berikatan pada gigi dan yang lainnya termasuk pada Streptokokkus mitior, S. Sanguis, Actinomyces dan A. Naeslundi.
Dua tahap pembentukan plak ini membutuhkan waktu dalam 2 hari. Pertumbuhan plak disebabkan karena ikatan multi[likasi internal dan deposisi pada permukaan gigi. Meskipun, multiplikasi internal sangat lambat samapai plak menjadi matur.

Kolonisasi sekunder dan maturasi plak
Kolonisasi sekunder ini memasukkan plak pada bagian belakang bentukan dari plak utama dan mengambil keuntungan dari perubahan lingkungan yang terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan metabolisme plak utama. Pertama-tama, pda proses ini, terdapat sisa ruang intersisial dibentuk oleh interaksi bakteri seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu dengan gram negatif kokus seperti jenis Neisseria dan Veilonella. Kedua, setelah 4-7 hari sebagai tanda pembentukan plak yaitu adanya inflamasi gingiva yang terus berkembang. Selama proses ini kondisi lingkungan akan berubah secara bertahap sehingga menyebabkan perubahan selektif yang lebih jauh. Hal ini termasuk pembukaan sulkus gingiva yang merupakan bagian dari pertumbuhan bakteri yang lebih dalam ditandai dengan aliran cairan dari sulkus gingiva. Ini merupakan hasil penyediaan nutrisi dari serum yang lebih dalam. Hal ini memungkinkan bakteri lain yang memilki kebutuhan metabolisme berbeda untuk masuk kedalam plak dan ini termasuk gram negatif rods seperti jenis Prevotella, Porphyromonas, Capnocytophaga, Fusobacterium dan Bacteroides. Setelah 7-14 hari kompleksibilitas dari plak semakin meningkat lebih jauh dengan adanya gambaranbakteri motil seperti Spirocaeta dan vibros. Interaksi bakteri yang lebih jauh mengakibatkan perbedaan jumlah dan jenisnya. Pada kolonisasi sekunder ini juga bentuk dari beberapa kelompok bakteri yang berasal dari plak subgingiva pada pembentukan selanjutnya.
Jadi, sebuah mikroflora yang didirikan dengan adanya sebuah keseimbangan dari organisme atau ekosistem mikroba pada permukaan gigi. Plak yang matur merupakan kumpulanyang penuh dengan segudang jenis bakteri indigenous dan ini membuat kesulitan jenis bakteri exogenous untuk berkolonisasi. Jadi dental plak, seperti flora indigenous pada kulit, rongga mulut dan membran mukosa lainnya dan yang terdapat dalam usus, yang sangat protektif dalam pencegahan masuknya spesies patogen.
Moore et al. (1982) memilki hubungan 166 jenis bakteri yang berbeda berasal dari plak supragingiva.
Menariknya penelitian ini dari 150 anak dengan umur 8-11 tahun menunjukkan adanya mikroorganisme patogen termasuk Porphyromonas gingivalis, Pro0vetella intermedia dan provetella nigrecens didalam rongga mulut mereka. Juga ditemukan dua dari tiga yang diisolasi terdapat subjek gen pembawa erm (F), erythromycin-resisten dantet, tetracycline-resisten.
Pada klinis tingkat dental plak sangat lunak, lapisan yang tidak terkalsifikasi merypakan tempat akumulasi bakteri dan perlekatan gigi dengan objek yang lain seperti restorasi, gigi tiruan, dan kalkulus. Pada lapisan tipis inihampir terlihat dan dapat diperlihatkan hanya dengan menggunakn disclosing sgent. Lapisan ini terlihat adanya deposit warna kekuningan atau abu-abu yang tidak dapat dihilangkang hanya dengan berkumur atau dengan irigasi tetapi dengan menggunakan sikat gigi. Hal semacam ini sering ditemukan pada permukaan organ pengunyahan dari bagian yang tidak bergigi sampai pada bagian yang bergigi, ketika pembentukan deposit terjadi.

Deposit plak dan Intake makanan
Plak akan terbentuk pada pasien dan makanan binatang yang berasal dari saluran perut, meskipun jumlahnya terbatas. Terdapat beberapa perdebatan mengenai frekuensi dari makanan atau jumlah makanan yang dimakan mempengaruhi jumlah deposit plak. Meskipun bakteri plak menggunakan nutrisi yang dapat didifusikan secara mudah ke dalam bentuk plak sepertilarutan gula, sukrosa, fruktosa, glukosa, maltosa, dan laktosa. Mungkin juga karbohidrat yang dapat menjadi substrat dari bakteri.
Dextran merupakan bagian terpenting dari produksi bakteri ekstraseluler karena berhubungan dengan kemampuan larutnya dan perlekatannya terhadap plak. Hal ini dapat diproduksi dari sukrosa pada diet dan pengaruhnya terhadap deposisi plak dan metabolismenya.
Plak lebih mudah terbentuk pada saat tidur dibandingkan pada saat makan karena adanya aksi mekanikal selama proses makan ditambah rangsangan aliran saliva yang dapat mengurangi deposisi dari plak. Makanan yang keras, kasar dan berserat dapat mengurangi pembentukan plak dan faktor ini digunakan dalam penelitian produksi dari plak. Gingivitis pada anjing dapat disebabkan oleh makanan yang lunak dan dimakan dalam waktu yang pendek selama 4 hari.
Meskipun masih terdapat perbedaan mengenai keuntungan pembersihan dengan mengunakan buah apel, seledri dan wortel, lebih baik dibandingkan dengan hidangan yang biasa disajikan. Keikutsertaan pengunyahan vigorous yang merupakan prodksi alami dari gigi yang mengenai seluruh permukaan oklusal dan interproksimal dimana terdapat deposit yang sangat sedikit.

Materi Alba
Berwarna kekuningan atau putih, lunak, merupakan deposit yang diabaikan dalam rongga mulut. Kandunganny adalah suatu massa dengan mikroorganisme, sel epitel yang terdeskuamasi, sisa makanan, leukosit ditambah deposit dari saliva. Strukturnya mirip tetapi tidak seperti plak dan dapat dengan mudah dihilangkan hanya dengan menggunakan semprotan air. Read More..

Prevalensi Enterobiasis pada Anak Panti Asuhan YA. BAPENATIM Gebang Jember

Randy Jufril.L, 041610101021: 2008:  Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Jember.

Enterobiasis atau oxyuriasis adalah penyakit akibat infeksi cacing Enterobius vermicularis atau Oxyuris vermicularis. Disebut pula sebagai pinworm infection, atau di Indonesia dikenal sebagai infeksi cacing kremi (Noer, 1996). Penyakit ini identik dengan anak-anak, meski tak jarang orang dewasa juga terinfeksi. Prevalensi kecacingan di Indonesia, menurut Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasit Indonesa (P4I), tahun 1992 untuk cacing gelang 70 – 90%, cacing cambuk 80 – 95% dan cacing tambang 30 – 59%. Sedangkan dari data departemen kesehatan (1997) menyebutkan, prevalensi anak usia SD 60 – 80% dan dewasa 40 – 60%. Dari satu penelitian pada anak-anak USA dan Kanada, sebanyak 30-80% anak sekolah di daerah tersebut terinfeksi E. vermicularis, sementara di Jakarta Timur dari 85 anak usia 5-9 tahun terdapat 46 anak (54,1%) terinfeksi E. vermicularis. Pola hidup yang mengesampingkan pentingnya kebersihan diri dan lingkungan akan menjadi salah satu faktor utama yang meningkatkan terjadinya Enterobiasis dilingkungan panti asuhan YA. BAPENATIM Gebang Jember. Selain itu, frekuensi kontak person yang lebih tinggi merupakan salah satu faktor predisposisi peningkatan prevalensi E. vermicularis.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah kepadatan telur E. vermicularis, prevalensi Enterobiasis, serta prevalensi Enterobiasis berdasarkan jenis kelamin dan tingkat pendidikannya, pada anak panti asuhan YA. BAPENATIM Gebang Jember. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah Ingin mengetahui kepadatan telur E. vermicularis, dan mengetahui prevalensi Enterobiasis, serta mengetahui prevalensi Enterobiasis berdasarkan jenis kelamin dan tingkat pendidikannya, pada anak panti asuhan YA. BAPENATIM Gebang Jember.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian diskriptif dengan pendekatan cross sectional. Pengambilan sampel dilakukan di panti asuhan YA. BAPENATIM Gebang Jember, sedangkan pemeriksaan laboratorium dilakukan di laboratorium parasitologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas jember. Penelitian ini dilakukan pada tanggal April 2008. Dengan metode pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan total sampling, yang kemudian diperoleh populasi penelitian dari anak asuh yang tinggal di dalam panti asuhan sebanyak 42 anak asuh yang terdiri dari 25 laki-laki dan 17 perempuan.

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan gambaran tentang kondisi panti asuhan yang ada di Jember, sehingga dapat dilakukan tindakan preventif dan kuratif terhadap penyakit Enterobiasis. Subjek penelitian yang diambil adalah seluruh anak asuh pada panti asuhan YA. BAPENATIM Gebang Jember, sebanyak 42 anak asuh yang terdiri dari 25 laki-laki dan 17 perempuan. Dengan kelompok pendidikan yang terdiri dari Taman Kanak-kanak (TK) berjumlah 2 anak, Sekolah Dasar (SD) sebanyak 18 anak, Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 10 anak dan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 12 anak. Dari hasil pengamatan, ditemukan E.vermicularis, dengan jumlah rata-rata7, 52 telur per lpb. Dimana, 19 anak mengandung telur E.vermicularis, dengan prevalensi sebesar 45,24% dari seluruh populasi. Pada anak laki-laki diperoleh prevalensi sebesar 73,68%, sedangkan pada anak perempuan sebesar 26,31%. Tingkat Taman Kanak-kanak sebesar 100% dari 2 anak dan Sekolah Dasar sebesar 50% dari 18 anak yang dilakukan pemeriksaan. Pendidikan Sekolah Menegah Pertama dan Sekolah Menengah Atas juga menunjukkan prevalensi sebesar 40% dan 33,3% dari 22 anak yang dilakukan pemeriksaan.

Berdasarkan hasil yang diperoleh maka disimpulkan bahwa ditemukan telur E.vermicularis dengan rata-rata kepadatan telur perlapangan pandang sebesar 7,53 telur, prevalensi E.vermicularis pada anak panti asuhan pada anak panti asuhan YA. BAPENATIM Gebang Jember sebesar 45,24% dan prevalensi E.vermicularis berdasarkan jenis kelamin pada anak laki-laki sebesar 73,68% dan anak perempuan sebesar 26,31%. Sedangkan pada tingkat pendidikan TK sebesar 100%, SD 50%, SMP 40% dan SMA sebesar 33,3%. Dengan demikian perlunya dilakukan tindakan Kuratif dan Preventif untuk mencegah terjadinya peningkatan prevalensi yang terus- menerus pada anak panti asuhan YA. BAPENATIM Gebang Jember.

Read More..

Kesehatan lingkungan rongga mulut dan penyakitnya

Rongga mulut dilapisi oleh saliva dan terkena makanan flora normal rongga mulutdan rangsangan atau jejas dari sikat gigi dan alat oral hygine lainnya, baik itu objek yang lain yang sering dilakukan oleh orang – orang seperti merokok, menggunakan pipa pada saat merokok dan kebiasaan buruk lainnya. Begitu juga dengan beberapa factor seperti perbedaan temperatur, nilai pH, mempengaruhi tekstur dan kekenyalan mukosa rongga mulut yang merupakan kebiasaan buruk. Mukosa rongga mulut berusaha beradaptasi dan resisten terhadap jejas tersebut.

Permukaan gigi juga terpapar factor – factor tersebut sehingga terdapat lapisan yang juga menjadi bagian dari gigi tersebut seperti bertambahnya jumlah deposit pelikel, plak, debris, material dan stain.

Saliva

Saliva memegang peranan penting dalam mempertahankan integritas jaringan mukosa rongga mulut, khususnya dalam proses pencernaan dan berbicara. Dimana setiap klinisi berpendapat bahwa terdapat beberapa macam sekresi dari beberapa kelenjar saliva di rongga mulut. Hal ini dipengaruhi oleh respon mekanisme neurotransmitter pada olfaktori, gustratori dan stimulus. Rangsangan dan jenis makanan juga dapat meningkatkan sekresi saliva. Rata – rata aliran saliva pada saat tidak terstimulasi atau istirahat berkisar antara 0,3 – 0,4 ml per menit. Tetapi pada beberapa orang dapat berkisar sampai 2 ml per menit. Aliran saliva yang terstimulasi juga bermacam – macam antara 0,2 – 6,0 ml per menit.

Komposisi saliva

Saliva terdiri dari 99,5% air ditambah 0,5% bahan organic dan anorganik. Bahan organic mengandung molekul besar dan kecil seperti bentukan protein, glikoprotein dan beberapa gammaglobulin, albumin, dan enzim, termasuk glukosa, urea, dan kreatinin. Pada bahan anorganik seperti kalsium, fosfor, sodium, potassium, dan magnesium yang disertai CO2,O2, dan nitrogen. Pada saliva terdapat enzim yaitu amylase, tetapi pada suatu penyakit banyak ditemukan enzim – enzim yang diproduksi oleh bakteri dan leukosit. Pada umumnya bahan organic merupakan produksi dari sel – sel kelenjar saliva yang diangkut ke dalam saliva dari sarah. Beberapa komponen yang diangkut dari darah seperti elektrolit, albumin, immunoglobulin G, A, dan M serta vitamin dan obat – obatan juga hormone yang berhubungan erat antara plasma dan tingkat salivasi karena dipengaruhi oleh hormone dan pada saat pengobatan.

Fungsi saliva

Saliva memiliki sejumlah fungsi, antara lain:

  1. Membantu dalam proses pencernaan makanan menjadi bolus – bolus. likoprotein amylase berperan pada pencernaan karbohidrat.
  2. Aliran cairan saliva yang membantu menghilangkan bakteri dan sisa makanan.
  3. Bikarbonat dan fosfat sebagai buffer makanan dan bakteri penghasil asam.
  4. Salivasi dari mucin dan kandungan yang lain berperan dalam melindungi mukosa dalam mulut dan permukaan gigi dengan beberapa cara antara lain:
    1. Salivasi glikoprotein yang melapisi dan membasahi mukosa rongga mulut. Aksi dari perlindungan ini menjadikannya lebih kenyal ketika bergerak, lain halnya pada xerostomia (mulut kering) disebabkan oleh kelainan dari kelenjar saliva. Mukosa rongga mulut menjadi lebih kering dan lebih mudah berdarah dan rawan terhadap infeksi.
    2. Aksi anti bakteri, enzim lisosim yang berikatan dengan dinding bakteri dan sebagai scavenger.
    3. Gammaglobulin sebagai antibakteri (antibodi) yang paling banyak Ig A memiliki dua bentuk perlindungan antara lain; yang pertama mencegah perlekatan bakteri dan virus pada permukaan gigi dan mukosa rongga mulut. Yang kedua bereaksi dengan antigen makanan untuk menetralisir
    4. Leukosit. Saliva mengandung sebagian besar leukosit yang berimigrasi ke Junctional Epthelium dan sebagai awal, dimana jumlah leukosit meningkat ketika terjadi inflamasi pada gingiva.
    5. Enzim sialoperoksida memiliki kemampuan antibakteri, khususnya pada agent lactobaccilus dan streptococcus.
    6. Kemampuan mineral, partikel kalsium, dan ion fosfor, mampu mempertahankan integritas gigi dengan memodulasi difusi ion – ion dan mencegah hilangnya mineral – mineral pada gigi. Pergantian mineral antara struktur gigi dengan saliva dapat menjadikannya lebih konstan dan mencegah dekalsifikasi enamel yang diharapkan adanya remineralisasi.
  5. Air dan mucin (glikoprotein) sebagai lubrikasi yang sangat essensial pada saat berbicara yang menjadikannya lebih lembut pada saat bergerak dan berkontak dengan bibir, dan agent lidah pada gigi dan palatum yang dapat berupa suatu konsonan.

Bakteri Rongga Mulut

Pada saat lahir, rongga mulut steril.Tetapi setelah beberapa jam terlihat gambaran mikroorganisme pada umumnya streptococcus salivarius. Setelah gigi erupsi terdapat flora kompleks di dalam rongga mulut. Bakteri terdapat pada saliva, lidah, dan pipi, permukaan gigi khususnya pada fissur dan sulcus gingiva. Jumlah bakteri dalam saliva sekitar 1 milyar, dimana populasi terbesarnya ditemukan pada dorsum lidah. Pada sulcus gingival yang sehat mengandung lebih banyak bakteri dibandingkan dengan saliva bebas, dan pada penyakit periodontal terdapat populasi multiple pada sulcusnya.

Rongga mulut terdiri dari berbagai macam, antara lain: pipi, lidah, fissure pada gigi, saliva, sulcus gingiva, dimana terdapat perbedaan ekosistem yang juga mempengaruhi perbedaan jenis bakteri pada jaringan yang satu dengan yang lain. Organisme yang paling dominant adalah streptococcus. Jumlah dan jenisnya sangat bervariasi dari orang yang satu dengan yang lain, dari satu bagian mulut dengan yang lainnya, seperti yang terlihat pada perbedaan permukaan pada gigi yang sama. Sebelum dan sesudah makan atau menggosok gigi. Umur, diet, kandungan saliva dan rata – rata alirannya, beserta dengan factor sistemik yang mempengaruhi flora rongga mulut.

Deposit pada gigi

Dental plak: host – hubungannya dengan biofilm

Dental plak merupakan biofilm bakteri yang kompleks dan dihubungkan dengan perbedaan jenis bakteri pada lingkungan yang sama. Komposisi semacam ini dapat memberikan keuntungan baik pada bakteri maupun pada hostnya. Untuk mempertahankan bakteri pada komposisi ini agar lebih resisten terhadap perubahan lingkungan eksternal dan memiliki kebutuhan nutrisi yang rendah. Contohnya pada pembentukkan komposisi ini kemampuan bertahan dari bakteri terhadap agent antimikroba terlihat pengurangan yang signifikan dari struktur biofilm.

Komunitas biofilm plak merupakan bentukan awal melalui interaksi bakteri dengan gigi, dan melalui interaksi fisik dan fisiologis antara spesies yang berbeda pada massa yang sama. Bakteri dengan plak biofilm juga dipengaruhi oleh factor lingkungan mediator-host. Pengaturan ini, dimana periodontal yang sehat berperan sebagai pengawal dari keseimbangan antara populasi bakteri dan host yang tidak sampai terjadi kerusakan baik pada bakteri atau host. Demikian, ketidakmampuan menyeimbangkan dapat menyebabkan alserasi pada host dan biofilm bakteri dan hasil eliminasi pada jaringan periodontal yang rusak.

Read More..